26 January 2009

pergi menangis sendiri




hari itu, berbelit rasa yg ada. saya keliru menilai sebuah arti nyata.
agak sunyi memang hari itu.
hanya ada saya dan sebungkus rokok, serta arpus si idaman hati

Jadi,
malam itu saya pergi. keluar rumah untuk menentramkan hati.
bersama arpus yg berlari 45 km/jam

sekeliling saya ramai. tapi saya justru tetap merasa sendiri

arpus berbelok, mencari jalanan kosong
dia tau saya butuh sendiri

begitu arpus menepi, air mata saya turun. dan saya menangis ditemani arpus.

apa yg menjadi kegelisahanku ini mungkin terlihat dan terdengar biasa utk orang lain. tapi aku merasa itu begitu berat untukku

Matahari mulai menampakkan jejaknya
tanda pagi kembali datang

dan saya kembali ke rumah dengan mata sembab
tidak lagi terikat beban


pergi menangis sendiri ternyata obat mujarab utk mengobati sakitnya hati

22 January 2009

Maafkan aku, Mam

Rabu, januari 22

Seandainya lian tau sedari dini, bahwa menjadi anak mama akan serumit ini, mungkin aku akan memilih menjadi anak orang lain

Menjadi anak yg tidak dapat dibanggakan, tidak mengikuti keinginannya, ternyata menyakitkan.
Tapi entah mengapa, keinginan sederhana mama, justru menyakitkan untukku.

Tidak bisa memenuhi keinginannya utk memberikan ia menantu
Tidak juga bisa memenuhi keinginannya utk menjadi pegawai negri sipil
Adalah beberapa keinginan mama, yang sulit kupenuhi

Mama,
Ini bukan karna aku tidak ingin menikah. Tapi ini karna lelaki pilihanku telah menjadi milik orang lain. Dan aku telah lebih dahulu menikahi hatinya, meski tanpa surat resmi dari pemerintah. Tapi aku punya kuasa untuk mengakui dia suami untuk hatiku. Dan aku tidak mungkin menikahi laki-laki lain, karena hatiku harus diceraikan olehnya lebih dahulu. Dan yang aku tau, ia tidak akan pernah menceraikan hatiku. Dan aku hanya menginginkan dia, Mam. Bukan laki-laki lain…

Ini juga bukan karna aku tidak ingin menjadi PNS. Tapi karena aku tidak ingin terus menjadi bayang-bayang ayahku, Mam. Aku tidak mau menikmati kemudahan yang ayahku berikan, dengan berada dibalik bayangannya. Aku hanya ingin menjadi aku, Mam.

Aku ingin membanggakanmu, Mam. Tapi bukan dengan memenuhi impianmu. Tapi menjadi diriku sendiri. Menjadi seperti yang aku inginkan. Egoiskah aku, Mam? Salahkah ini, bila bukan seperti kehendakmu yang kuinginkan?

Mama,
Menyakitkan mungkin utk tidak memenuhi keinginanmu. Tapi akan lebih menyakitkan jika semua itu kulakukan. Jangan salahkan dirimu yang mungkin salah mendidikku. Jangan salahkan ayahku yang mungkin memaksakan keinginan yang sama denganmu. Jangan juga salahkan Tuhan yang tidak membuat aku jadi lebih penurut.
Salahkan aku, Mam. Salahkan aku yg memiliki keinginan ini. Keinginan utk tidak menuruti keinginanmu.

Maafkan aku Mam… jika tidak lagi menjadi anak kebanggaanmu, seperti dulu.

17 January 2009

mencari matahari - part 1

Tuhan memilihkan waktu yang tepat, untuk mereka yang meminta dengan sepenuh hati
Tuhan tidak pernah tinggal diam. Dan Ia tidak tidur dalam seperdetik pun
Tuhan juga tidak tuli. Dan Ia memberi pengertian kepada mereka yang menginginkan

Separuh jalan Angkasa sudah dilewati Kamir tetapi ia masih saja belum puas dengan apa yang ia cari. Padahal Jalan Angkasa tidaklah pendek, sekitar 12 km panjangnya. Kamir berhenti di sudut jalan, meminggirkan Supranya dan ia turun. Duduk di pinggiran trotoar. Beberapa kendaraan lewat, tidak memerdulikan Kamir yang berhenti di sudut jalan. Jam sudah menunjukkan jam 2 dini hari. Getar handphone dari dalam tas pinggang Kamir bergetar. Saphire calling demikian yang tertulis di layar, kemudian diangkatnya.

“Dul, where are you’ve been now?”Saphire membuka percakapan

“I’m not ready to talk with you right now, Sunset. I told you to give me a time. Not tonight ya” ujar Kamir dengan enggan.

“But when?? Kapan, Dul? Just tell me. So I’m ready if there no more time for waiting”

“I don’t know dear. Just give me time to breath. To have fresh air. To make myself know what should I do. Ok. Sleep now. You have to go work tomorrow. Make your time useful. Then you’ll forget all of this” Kamir mencoba mengakhiri percakapannya. Dia tidak ingin ada orang yang mengganggunya, mencuri waktunya kali ini, meski itu seorang Saphire sekalipun.

“Kamirez, take care of yourself. If you need something just call me. I’ll always be whenever you need” Saphire tahu telah tiba saatnya dia harus mengalah dan berhenti.

“Ya, my Sunset. I know you’ll always be anytime. But I need time for myself. Aku udah jelasin kan seminggu lalu maksud dan niatku. Ini mungkin untuk sementara, tapi mungkin juga untuk selamanya. Jangan buang waktumu hanya mengasihani aku”

“Jangan terlalu lama mencari Matahari, Sayang. Kalaupun sudah menemukannya, jangan terlalu dekat padanya. Nanti kulitmu itu bisa legam kayak aku” Saphire mencoba bercanda.

“Udah tidur sana. It’s time for beauty to sleep. Nice sleep, Sunset”
Klik. Telfon pun dimatikan Kamir.


Sudah tiga hari Kamirez meninggalkan rutinitas sehari-harinya. Mau semedi demikian penjelasannya saat meminta cuti dari kantornya. Rutinitas menyenangkan menurut orang-orang. Pekerjaan yang sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya dulu. Tapi justru rutinitas itu yang menyita waktunya untuk menemukan Matahari dalam hidupnya. Ini bukan hanya sekedar wanita pendamping, Kamir bahkan sudah memiliki Saphire, wanita yang menghujaninya dengan cinta, perhatian, dan ilmu. Tapi Saphire hanyalah pendamping setia, yang ia butuhkan justru rekan, bukan hanya pelengkap. Bukan hanya ibarat sekeping puzzle yg bisa membuat sebuah gambar menjadi sempurna. Bukan, bukan itu. Sesuatu yang lebih daripada itu.
03.25 pagi sudah jam di handphone tertulis. Kamir bergerak naik ke motornya.

“Apa yang kamu cari, Nak Kamir? Kamu sudah lima hari menginap disini, tetapi tetap saja tidak ada sesuatu yang bisa membuat raut wajahmu itu tampak lebih normal” Tuan Musi mendadak membuka suara.

Sedari tadi Kamir sengaja duduk di sudut café, menghindari bertatap mata dengan orang lain. Ya, memang sudah lima hari dia menginap di penginapan Musi, penginapan kecil milik keluarga Musika Agung. Sebetulnya penginapan itu tempat kos mahasiswa, tapi itu hanya untuk tingkat satu dan tingkat dua nya saja. Sedangkan untuk lantai dasarnya memang sengaja disewakan untuk orang-orang yang berkunjung ke Jogja. Biasanya yang datang menginap keluarga-keluarga dari mahasiswa baru, yang masih mau menemani anak, adik, kakak, atau sepupu mereka, yang akan masuk ke Universitas di ujung Jalan Angkasa.

“Nak Kamir…”panggil Tuan Musi, mencoba berbicara pada Kamir, bekas anak kosnya dulu.
Kamir tersenyum, mencoba bergurau “Ah rupanya kehadiran raut wajah tidak normal saya membuat Rama bosan juga ya?”

“Dul, saya bukan baru lima hari ini saja mengenal kamu. Sejak hari pertama kamu jadi mahasiswa Arsitektur, sampai gelar sarjana kau sandang, saya tahu kamu nak. Jadi ada apa? Coba kasih tahu Rama’mu ini ada apa dengan raut tidak normalmu ini” Tuan Musi melototkan matanya seolah marah.

“Rama sudah seperti Bapak dirumah saja. Melotot kalau kesal. I’m fine Rama. I just need fresh air for myself. That’s all” jelas Kamir menggantung.

“Ok. Terserah kamu kalau seperti itu. Tapi jangan coba bunuh diri di tempat saya ya. Musika Agung tidak mau terlibat untuk pencarianmu terhadap udara segar itu” ujar Tuan Musi sambil membuat tanda petik dengan dua jari telunjuk dan jari tengahnya saat berkata udara segar. Kemudian berdiri meninggalkan Kamir, dan menepuk punggungnya lembut “I always there whenever you need, anak muda” Tuan Musi menambahkan.
Kamir menatap punggung Tuan Musi.