17 January 2009

mencari matahari - part 1

Tuhan memilihkan waktu yang tepat, untuk mereka yang meminta dengan sepenuh hati
Tuhan tidak pernah tinggal diam. Dan Ia tidak tidur dalam seperdetik pun
Tuhan juga tidak tuli. Dan Ia memberi pengertian kepada mereka yang menginginkan

Separuh jalan Angkasa sudah dilewati Kamir tetapi ia masih saja belum puas dengan apa yang ia cari. Padahal Jalan Angkasa tidaklah pendek, sekitar 12 km panjangnya. Kamir berhenti di sudut jalan, meminggirkan Supranya dan ia turun. Duduk di pinggiran trotoar. Beberapa kendaraan lewat, tidak memerdulikan Kamir yang berhenti di sudut jalan. Jam sudah menunjukkan jam 2 dini hari. Getar handphone dari dalam tas pinggang Kamir bergetar. Saphire calling demikian yang tertulis di layar, kemudian diangkatnya.

“Dul, where are you’ve been now?”Saphire membuka percakapan

“I’m not ready to talk with you right now, Sunset. I told you to give me a time. Not tonight ya” ujar Kamir dengan enggan.

“But when?? Kapan, Dul? Just tell me. So I’m ready if there no more time for waiting”

“I don’t know dear. Just give me time to breath. To have fresh air. To make myself know what should I do. Ok. Sleep now. You have to go work tomorrow. Make your time useful. Then you’ll forget all of this” Kamir mencoba mengakhiri percakapannya. Dia tidak ingin ada orang yang mengganggunya, mencuri waktunya kali ini, meski itu seorang Saphire sekalipun.

“Kamirez, take care of yourself. If you need something just call me. I’ll always be whenever you need” Saphire tahu telah tiba saatnya dia harus mengalah dan berhenti.

“Ya, my Sunset. I know you’ll always be anytime. But I need time for myself. Aku udah jelasin kan seminggu lalu maksud dan niatku. Ini mungkin untuk sementara, tapi mungkin juga untuk selamanya. Jangan buang waktumu hanya mengasihani aku”

“Jangan terlalu lama mencari Matahari, Sayang. Kalaupun sudah menemukannya, jangan terlalu dekat padanya. Nanti kulitmu itu bisa legam kayak aku” Saphire mencoba bercanda.

“Udah tidur sana. It’s time for beauty to sleep. Nice sleep, Sunset”
Klik. Telfon pun dimatikan Kamir.


Sudah tiga hari Kamirez meninggalkan rutinitas sehari-harinya. Mau semedi demikian penjelasannya saat meminta cuti dari kantornya. Rutinitas menyenangkan menurut orang-orang. Pekerjaan yang sesuai dengan ilmu yang dipelajarinya dulu. Tapi justru rutinitas itu yang menyita waktunya untuk menemukan Matahari dalam hidupnya. Ini bukan hanya sekedar wanita pendamping, Kamir bahkan sudah memiliki Saphire, wanita yang menghujaninya dengan cinta, perhatian, dan ilmu. Tapi Saphire hanyalah pendamping setia, yang ia butuhkan justru rekan, bukan hanya pelengkap. Bukan hanya ibarat sekeping puzzle yg bisa membuat sebuah gambar menjadi sempurna. Bukan, bukan itu. Sesuatu yang lebih daripada itu.
03.25 pagi sudah jam di handphone tertulis. Kamir bergerak naik ke motornya.

“Apa yang kamu cari, Nak Kamir? Kamu sudah lima hari menginap disini, tetapi tetap saja tidak ada sesuatu yang bisa membuat raut wajahmu itu tampak lebih normal” Tuan Musi mendadak membuka suara.

Sedari tadi Kamir sengaja duduk di sudut café, menghindari bertatap mata dengan orang lain. Ya, memang sudah lima hari dia menginap di penginapan Musi, penginapan kecil milik keluarga Musika Agung. Sebetulnya penginapan itu tempat kos mahasiswa, tapi itu hanya untuk tingkat satu dan tingkat dua nya saja. Sedangkan untuk lantai dasarnya memang sengaja disewakan untuk orang-orang yang berkunjung ke Jogja. Biasanya yang datang menginap keluarga-keluarga dari mahasiswa baru, yang masih mau menemani anak, adik, kakak, atau sepupu mereka, yang akan masuk ke Universitas di ujung Jalan Angkasa.

“Nak Kamir…”panggil Tuan Musi, mencoba berbicara pada Kamir, bekas anak kosnya dulu.
Kamir tersenyum, mencoba bergurau “Ah rupanya kehadiran raut wajah tidak normal saya membuat Rama bosan juga ya?”

“Dul, saya bukan baru lima hari ini saja mengenal kamu. Sejak hari pertama kamu jadi mahasiswa Arsitektur, sampai gelar sarjana kau sandang, saya tahu kamu nak. Jadi ada apa? Coba kasih tahu Rama’mu ini ada apa dengan raut tidak normalmu ini” Tuan Musi melototkan matanya seolah marah.

“Rama sudah seperti Bapak dirumah saja. Melotot kalau kesal. I’m fine Rama. I just need fresh air for myself. That’s all” jelas Kamir menggantung.

“Ok. Terserah kamu kalau seperti itu. Tapi jangan coba bunuh diri di tempat saya ya. Musika Agung tidak mau terlibat untuk pencarianmu terhadap udara segar itu” ujar Tuan Musi sambil membuat tanda petik dengan dua jari telunjuk dan jari tengahnya saat berkata udara segar. Kemudian berdiri meninggalkan Kamir, dan menepuk punggungnya lembut “I always there whenever you need, anak muda” Tuan Musi menambahkan.
Kamir menatap punggung Tuan Musi.

No comments:

Post a Comment